[CHAPTER] GREEN DAYLIGHT PART 7 OF ….

Green Daylight

 

Sebelum baca disarankan menjauhlah dari keramain, siapkan posisi nyaman dan damai serta jangan lupa tissue ^^ Hanya saran ingat!

*****

Oh iya maaf kemaren sempet diprotect karena memang niatnya ga diposting hari itu ini ef ef cuma terlanjur dipost ^^ Tapi banyak juga yang nembus bisa  baca padahal ga bagi-bagi pw (just your information : itu e-mail punya saya adeknya jadi ga standbye dibuka sama teh unii) Yang punya rumah lagi liburan ke sisi Timur Indonesia tuh ga online tiap hari, cuma semalem bm ngingetin buat posting beberapa part. 

Part 7. Party

“Saat kau merasakan penyesalan ketika menyakiti orang yang kau benci.

Berarti kau tidak benar-benar membencinya.”

*****

“Kau tidak boleh bertemu dengan Seungho lagi, dan kau tidak boleh mengurus rumah kaca itu lagi.” Seokjin langsung mendatangi Jiyeon malam itu di kamarnya, seperti biasa masuk tanpa permisi dan bersikap angkuh.

Bagi Seokjin, ini adalah salah satu rencana balas dendamnya, menahan Jiyeon dari segala hasrat yang disukainya. Seokjin tahu Jiyeon sangat menyukai rumah kacanya, dan tidak bisa mengurus rumah kacanya pasti akan sangat menyakitkan bagi perempuan itu.

Jiyeon mendongak, menatap Seokjin dengan lelah, tiba-tiba Seokjin memperhatikan bahwa Jiyeon tampak lebih pucat dan kelihatan sakit. Jantungnya berdenyut, tetapi kemudian dia langsung menepis perasaan apapun itu yang sempat muncul. Tidak boleh ada belas kasihan, kalau dia ingin tujuannya tercapai, dia harus mampu bersikap kejam.

“Kenapa tidak boleh?” tanya Jiyeon kemudian.

Seokjin mengangkat alisnya, “Kau tidak berhak bertanya. Aku suamimu, apapun keputusanku kau harus mengikutinya.”

Suami macam apa yang memperlakukan isterinya seperti ini?

Tanpa sadar Jiyeon meringis perih,

“Apakah kau sengaja melakukannya Seokjin? Untuk menyiksaku? Sebenarnya apa kesalahanku sehingga kau seolah-olah ingin menghukumku?”

Seokjin mengetatkan gerahamnya, “Tidak perlu banyak bertanya.” Geramnya,

“Kalau aku bilang begitu, kau harus menurutinya.” Lelaki itu melangkah mendekat dengan mengancam, “Atau kau ingin merasakan lagi ‘hukumanku’ kepadamu?”

Jiyeon langsung terkesiap, kalimat lelaki itu menyiratkan akan pemerkosaan kejam yang dilakukannya malam itu kepada Jiyeon, wajahnya bertambah pucat.

“Oke.” Gumamnya kemudian. “Silahkan hukum aku, kuharap kau puas dengan apapun yang kau rencanakan.” Gumam Jiyeon sinis kemudian. Dia takut, dia sungguh takut Seokjin akan memperkosanya dengan kasar seperti kemarin. Itu adalah pengalaman pertama Jiyeon, dan rasanya menyakitkan. Jiyeon tidak bisa membayangkan harus mengalami kesakitan itu lagi, ditambah dengan nyeri di hatinya, bahwa yang melakukannya adalah Seokjin… lelaki yang bahkan sampai sekarangpun sangat dia cintai.

“Bagus.” Seokjin mengernyit, “Jangan coba-coba menemui Seungho, Jiyeon. ataupun meminta bantuannya. Seluruh penghuni rumah ini, semua mengawasimu. Dan kau akan menyesal kalau sampai aku tahu bahwa kau menghubungi Seungho.”

Setelah mengucapkan ancaman yang keji itu, Seokjin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi sambil membanting pintu di belakangnya.

*****

Jiyeon tentu saja tidak bisa untuk tidak menghubungi Seungho, lagipula lelaki itu menghubunginya terus menerus, meskipun Jiyeon masih belum berani mengangkatnya, tetapi di malam hari, ketika semua penghuni rumah sudah beranjak tidur, Jiyeon mengunci pintu kamarnya, dan menelusup dalam kegelapan masuk ke balik selimut, dan menelepon Seungho.

“Jiyeon!” Seungho setengah berteriak ketika mendengar sapaan pertama Jiyeon. “Apa yang terjadi? Kau tidak bisa dihubungi seharian, dan aku sangat mencemaskanmu. Aku tadi datang ke rumahmu, tetapi pegawai Seokjin menahanku di gerbang, tidak memperbolehkanku masuk….kau baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja.”

“Kau tidak baik-baik saja.” Seungho bersikeras, “Aku sudah mengenalmu sejak kecil, Jiyeon, kau sudah seperti adik kandungku sendiri, dari suaramupun aku sudah bisa membacabahwa kau tidak baik-baik saja… Apakah Seokjin berbuat kasar padamu?”

“Tidak.” Jiyeon memejamkan mata, mengusir air mata yang mulai merembes di sana, berusaha agar suaranya terdengar tegar. Tetapi ingatan akan pemerkosaan kasar yang dilakukan Seokjin kepadanya, dan kemudian ancamannya pada dirinya serta keluarga Seungho membuatnya tidak bisa menahan tangisnya, suaranya gemetar ketika berucap, “Aku… aku mungkin tidak bisa ke rumah kaca untuk beberapa waktu…”

“Jiyeon..” Jiyeon bisa membayangkan Seungho meringis di sana, “Kau menangis, oh Astaga, dia mengancammu ya?”

“Tidak.. aku tidak apa-apa…” Jiyeon menggeleng-gelengkan kepalanya meskipun dia tahu Seungho tidak akan bisa melihatnya, “Aku… aku hanya ingin keadaan tenang dulu, semoga nanti aku bisa kembali ke rumah kaca.”

“Jiyeon, kalau kau tidak tahan lagi, pergilah dari sana, pulanglah kepada kami, kita akan menghadapinya bersama-sama.”

Jiyeon sungguh ingin. Tetapi dia tidak bisa, bayangkan akan ancaman Seokjin kepada ibu Seungho dan adik-adiknya membuat Jiyeon ngeri. Seokjin akan membuktikan ancamannya, Jiyeon sudah tahu itu ketika pada akhirnya Seokjin tega memperkosanya.

“Aku tidak bisa Seungho.” Dengan perih Jiyeon mengusap air matanya, “Sampaikan salamku pada semuanya ya… aku akan menghubungimu lagi nanti.”

Seungho masih memanggil-manggil namanya di seberang sana, tetapi Jiyeon berusaha tidak memperdulikannya, dia menutup teleponnya, lalu menangis, ditenggelamkannya air matanya di bantal, dia menangis sekuat-kuatnya, larut dalam kesedihan dan sakit hatinya.

*****

Tidak disadarinya tangisannya itu terdengar ke luar, ke arah Seokjin yang tanpa sengaja berjalan dari arah ruang kerjanya, melewati belokan lorong di ujung, tempat kamar Jiyeon berada. Seokjin langsung tertegun. Terpaku di depan pintu kamar Jiyeon. Tangisan perempuan itu terdengar sangat menyayat hati, membuat siapapun yang mendengarnya perih.

Tiba-tiba saja hati Seokjin terasa perih, dia berdiri di sana, menunggu lama, sampai kemudian isakan Jiyeon menjadi pelan dan menghilang dalam keheningan.

Gadis itu menangis sampai ketiduran…

Sambil menghela napas, Seokjin melangkah pergi ke kamarnya.

*****

“Kita akan mengadakan pesta.” Kali ini Seokjin tiba-tiba muncul di ruang makan, tempat Jiyeon sedang mengaduk-aduk sarapan paginya, tidak berselera.

Jiyeon mengerutkan kening, “Pesta?”

“Ya.” Seokjin mengangkat dagunya, mengamati Jiyeon dengan pandangan mencemooh, “Aku sudah menyewa event organizer untuk mengurus pesta ini, pesta ini kelas atas, biasanya kulakukan untuk menjamu para rekan bisnisku, akan ada banyak tamu dari kalangan atas.” Mata Seokjin menelusuri tubuh Jiyeon dari ujung kepala ke ujung kaki, “Dan ya ampun, belilah pakaian yang bagus dan berkelas, kau sudah kuberi uang bulanan di kartumu. Jangan sampai kau mempermalukanku di pesta itu.” Gumam Seokjin, sengaja bersikap kejam, lalu meninggalkan Jiyeon yang ekspresinya seperti habis di tampar.

*****

Seokjin memang benar, Jiyeon tidak punya baju bagus, dan dia memang tidak berkelas, yang dilakukan Jiyeon hanyalah berkebun, berkutat dengan tanah dan pupuk, mengurusi tanaman yang dicintainya – yang sekarang bahkan tidak bisa disentuhnya.

Jiyeon memang berbeda dari wanita-wanita berkelas yang dikenal oleh Seokjin. Dengan perasaan pedih dan terhina, Jiyeon menghela napas panjang.

Dilihatnya gaun-gaunnya di dalam lemari, semuanya gaun yang dibeli berdasarkan fungsinya, bukan dari merkataupun harganya. Dan dia memang tidak punya gaun pesta karena memang dia tidak pernah pergi ke pesta. Ada satu baju pesta berumur lima tahun yang hampir tidak pernah dipakainya, gaun itu berwarna putih dengan hiasan batu berwarna ungu di dada dan pinggangnya, tampak begitu sederhana.

Apakah gaun ini bisa dipakai di pesta yang kata Seokjin “berkelas’ itu?

Matanya melirik ke arah kartu belanja yang diletakkan Seokjin di meja riasnya entah kapan. Tergoda untuk memakai kartu itu, berbelanja pakaian yang bagus dan mahal lalu menunjukkan kepada Seokjin bahwa dia bisa juga tampil berkelas dan Seokjin tidak bisa mencemoohnya. Tetapi dia lalu menggelengkan kepalanya penuh tekad.

Setidaknya, kalau tidak bisa melawan Seokjin, dia bisa memberontak dengan hal-hal kecil. Jiyeon tidak akan membeli gaun pesta baru. Biarlah dia memakai salah satu baju pestanya yang lama, apapun yang akan terjadi nanti, dia akan menghadapinya dengan tegar.

*****

Larut malam Seokjin baru pulang dari kantornya. Lelaki itu baru pulang setelah jam sepuluh malam, hampir setiap harinya. Jiyeon hanya bisa menahan ingin tahunya, benarkah Seokjin pergi bekerja? Setahunya tidak ada orang yang bekerja dari pagi sampai jam sepuluh malam, hanya orang gila kerja yang melakukannya.

Apakah Seokjin menghindarinya? Ataukah dia … menghabiskan waktunya bersama seseorang?

Perasaan cemburu menggayuti hatinya dan membuatnya merasa pilu. Betapa menyedihkannya dirinya. Seokjin sudah memperlakukannya dengan begitu kejam, tetapi Jiyeon tetap saja masih menyimpan rasa cinta kepada lelaki itu.

Ketika Seokjin melihat Jiyeon sedang duduk di sofa depan dan membaca sebuah novel yang ditemukannya di rak buku, dia berhenti dan mengernyitkan keningnya,

“Kenapa belum tidur?” tanyanya. Jiyeon menatap Seokjin dengan pedih, lalu memalingkan muka, berusaha menyembunyikan ekspresinya,

“Aku sedang membaca buku.”

“Oh.” Seokjin tampak bingung harus berkata apa, kemudian matanya mengeras lagi, “Apakah kau sudah membeli gaun?, pestanya akhir pekan ini, beberapa hari lagi.”

Jiyeon menghela napas panjang, “Aku akan membelinya.”

“Beli yang paling bagus dan paling mahal. Ingat, jangan mempermalukanku.”

Jiyeon terdiam, hanya menutup punggung Seokjin yang berlalu meninggalkannya.

Lelaki itu pasti akan marah besar ketika tahu bahwa Jiyeon tidak menuruti perintahnya.

Yah…. biarkan saja,

Biar Seokjin tahu bahwa Jiyeon bukanlah perempuan lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa.

*****

Akhir pekan telah tiba, dan seluruh rumah dipenuhi kesibukan yang luar biasa, petugas catering sudah datang dari pagi, dan beberapa petugas lain menyiapkan tempat, dibantu para pegawai Seokjin yang ada di rumah itu.

Jiyeon hanya mengamati dari jendela kamarnya, melihat banyaknya mobil yang didominasi mobil catering parkir di halaman depan rumah Seokjin yang luas.

Sepertinya ini benar-benar pesta besar…

Jiyeon mengernyit menatap gaun putih sederhananya yang sudah diseterika oleh pelayan dan dihamparkan di ranjangnya.

Bahkan pelayan tadipun mengernyit ketika dia menerima gaun itu dari Jiyeon untuk disetrika, dan mengetahui bahwa Jiyeon akan mengenakannya untuk ke pesta nanti malam. Tatapannya tampak memprotes, tetapi dia tidak berani menyuarakannya.

Dan sekarang Jiyeon duduk dengan bingung, merasa ragu atas keputusannya menentang Seokjin. Jiyeon takut dirinya bukanhanya mempermalukan Seokjin, tetapi mempermalukan dirinya sendiri di pesta ini.

Dengan gugup dia meremas tangannya dan mengamati gaun putih itu sekali lagi. Tetapi mau bagaimana lagi? Sudah terlambat untuk membeli gaun, pestanya akan berlangsung beberapa jam lagi.

*****

Seokjin masuk ke kamar Jiyeon yang tidak dikunci dan mengerutkan keningnya, lelaki itu sudah mengenakan jas malamnya yang sangat bagus dan elegan.

“Kau belum berganti pakaian?” Lelaki itu mengamati Jiyeon yang mengenakan gaun putih sederhana, dengan make-up tipis dan rambut di urai.

Jiyeon melirik gaunnya dengan rasa bersalah, kemudian menatap Seokjin dan berucap terbata-bata, “Aku mengenakan gaun ini.”

Nyala api langsung muncul di mata Seokjin, “Kau akan ke pestaku, sebagai isteriku, mengenakan gaun rombengan seperti ini?” Suaranya meninggi setengah berteriak, “Apakah kau tidak membeli gaun seperti yang kuperintahkan?!”

Jiyeon mendongakkan dagunya, mencoba menantang Seokjin, “Aku merasa cukup pantas mengenakan gaun ini.”

“Cukup pantas kalau kau pergi ke pasar, bergaul bersama orang-orang rendahan,” Tukas Seokjin dengan kasar, “Ini pestaku, dan akan ada banyak orang kelas atas yang datang, mereka akan mencemooh gaun rombenganmu itu, dan kau akan mempermalukanku karena mereka semua pasti akan mengira aku bahkan tidak mampu membelikan isteriku sebuah gaun!” Lelaki itu maju, begitu dekat dengan Jiyeon, matanya membara, “Jangan-jangan kau memang sengaja begitu ya? Mempermalukanku?”

Jiyeon menggelengkan kepalanya dan melangkah mundur, tiba-tiba merasa takut dengan kemarahan Seokjin, “Ti.. tidak.. bukan maksudku begitu.. aku hanya merasa gaun ini cukup pantas.”

“Lain kali jangan menggunakan perasaanmu atas dasar selera rendahanmu itu.” Seokjin mendengus, menatap Jiyeon dengan jiji, “Baiklah, kau sudah terlanjur melakukannya, silahkan permalukan dirimu sendiri, aku tidak akan membantumu!”

*****

Ketika memasuki pesta itu, Seokjin masih berjalan di sampingnya, tetapi hanya sepersekian menit, lelaki itu meninggalkannya sendirian untuk menyalami tamu-tamunya, dan tidak mengajak Jiyeon, seolah-olah dia malu terlihat bersama Jiyeon.

Jiyeon mengamati para tamu yang mulai ramai itu dan merasa sangat malu. Semuanya datang dengan riasan lengkap, gaun yang luar biasa elegan dan perhiasan-perhiasan mahal yang melengkapi penampilannya. Jiyeon tampak seperti seorang pembantu yang salah tempat di sini.

Beberapa orang yang tidak mengenalinya sebagai isteri Seokjin bahkan memandang sebelah mata padanya, yang lainnya melemparkan tatapan mencemooh seolah dia pelayan yang tak tahu tempat.

Jiyeon beringsut di sudut, merasa bahwa apa yang terpapar di depannya ini bukanlah dunianya. Semuanya terasa asing dan kejam. Tiba-tiba Jiyeon ingin menangis karena merasa begitu sendirian dan terasing.

Matanya mencari-cari dimana Seokjin, tetapi lelaki itu tampaknya sedang sibuk dan tak memperhatikannya, dia sedang bercakap-cakap dengan segerombolan lelaki dan perempuan berpakaian mewah, dan tampak tertawa-tawa… bahkan ada seorang perempuan mengenakan gaun merah menyala yang sexy dan elegan, bergayut manja di lengan Seokjin dan lelaki itu membiarkannya.

Lalu seorang perempuan yang berjalan terburu-buru bersama pasangannya berlalu dengan sembrono, dia menabrak Jiyeon yang bahkan sudah berdiri di pinggir dengan keras,

“Aduh!” Perempuan itu berteriak marah karena dia hampir terhuyung jatuh dan terselamatkan karena berpegangan kepada pasangannya, perempuan itu melirik kearah Jiyeon dan berteriak kesal, “Jangan berdiri seperti orang bodoh disitu, dasar pelayan bodoh!! Tempatmu seharusnya di dapur!”

Wajah Jiyeon pucat pasi ketika semua mata memandang kepadanya, begitupun Seokjin yang sedang bercengkerama dengan teman-temannya.

Mata Jiyeon mulai berkaca-kaca, dan dia mengangguk untuk meminta maaf.

“Maafkan saya.” Padahal seharusnya dia tidak perlu meminta maaf, perempuan itulah yang menabraknya.

“Maaf… maaf! Aku akan melaporkanmu pada pemilik rumah ini karena kau seenaknya berkeliaran di pesta majikanmu…kau..”

“Dialah sang majikan, Yoona.” Tiba-tiba suara Seokjin terdengar tenang, “Perkenalkan ini Jiyeon isteriku.”

Entah kapan Seokjin sudah melangkah dan tiba-tiba ada di sebelah Jiyeon, lalu mengaitkan lengannya di lengan Jiyeon.

Wajah perempuan yang dipanggil Yoona itu tampak memucat, mulutnya menganga, memandang Seokjin dan Jiyeon berganti-ganti dengan tak percaya.

“Isterimu…?” gumamnya tercekat.

Seokjin menganggukkan kepalanya dan tersenyum datar, “Ya, isteriku. Aku maklum kau tidak mengenalinya, di pesta pernikahan kemarin dia berdandan dan mengenakan gaun pengantin.”

Seolah masih enggan percaya, Yoona menatap Jiyeon dengan teliti, dia lalu menatap Seokjin dengan gugup,

“Oh oke. Aku benar-benar tidak tahu.” Gumamnya setengah malu, lalu dia menganggukkan kepalanya dan menggandeng pasangannya, buru-buru berlalu.

Jiyeon menunggu sampai Yoona dan pasangannya menjauh, lalu berbisik lirih kepada Seokjin.

“Maafkan aku Seokjin, aku…”

“Puas sekarang? Kalau kau memang ingin mempermalukanku, selamat. Kau sudah berhasil.” Seokjin menyela kata-kara Jiyeon dengan dingin.

Ketika Seokjin hendak meninggalkan Jiyeon, perempuan berpakaian merah menyala itu, yang tadi bergayut dengan manja di lengan Seokjin, ternyata sudah berdiri di depannya, menghalangi langkahnya.

“Jadi ini isterimu, oppa? Aku sudah sangat penasaran terhadapnya ketika mendengar pernikahanmu yang sangat buru-buru. Kenapa kau tadi tidak memperkenalkannya kepada kami?” seketika itu juga kumpulan teman-teman Seokjin sepertinya sudah ada di sekeliling mereka.

“Jiyeon sedang tidak enak badan, dia sebenarnya tidak berencana menghadiri pesta ini, benar kan sayang?” Kata-kata Seokjin lembut dan mesra, tetapi lelaki itu menatap Jiyeon dengan pandangan penuh peringatan, “Bukankah kau bilang kau ingin naik saja dan beristirahat?”

Jiyeon menganggukkan kepalanya dengan sedih, “Baik, aku akan beristirahat di atas.”

“Hati-hati ya.” Seokjin berbicara dengan kelembutan yang sama, yang dulu pernah dipakainya untuk menipu Jiyeon, tetapi kali ini bedanya Jiyeon sudah tahu kalau itu semua palsu.

Dengan perasaan malu dan terhina, Jiyeon melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Dia telah diusir dari pesta milik suaminya sendiri.

Telinganya mendengar tawa gembira yang menyakitkan, dan ketika dia melirik dari sudut matanya, tampak Seokjin sudah berbicara sambil tertawa lagi dengan beberapa orang yang mengelilinginya, perempuan cantik berbaju merah itu sudah kembali menggayut manja di lengannya.

Jiyeon menghela napas sedih dan mempercepat langkah memasuki kamarnya. Dibantingnya tubuhnya ke atas ranjang, dan seperti kebiasaannya akhir-akhir ini, Jiyeon menangis dengan penuh kepedihan.

Diluar sana pesta berlangsung meriah, penuh musik yang ceria dan percakapan yang penuh canda. Di dalam sini, dikamarnya, Jiyeon terisak penuh air mata, sendirian dan tidak punya siapa-siapa.

*****

Hampir lewat tengah malam, ketika pesta itu dan semua kesibukan untuk membereskannya usai, Seokjin dengan hati-hati membuka pintu kamar Jiyeon yang tidak dikunci.

Kamar itu gelap dan temaram, tetapi di tengah ranjang, di bawah sinar bulan yang remang-remang masuk melalui bagian kaca di atas jendela, Seokjin bisa melihat dengan jelas tubuh Jiyeon yang terbaring telungkup di atas ranjang.

Dengan pelan, mencoba tidak bersuara, Seokjin menarik kursi dan mendekatkannya di pinggiran ranjang, dia duduk di sana, dengan tubuh setengah membungkuk, tangan bertumpu pada sikunya, dan mata menatap nanar ke arah Jiyeon.

Dengan bantuan cahaya bulan, dia bisa melihat wajah Jiyeon yang miring ke arahnya, dan dia bisa mengetahui, ada bekas air mata yang kering di pipinya. Sekali lagi, Jiyeon menangis lagi sampai tertidur.

Hati Seokjin terasa sakit. Semula dia berpikir bahwa menyakiti Jiyeon terus dan terus, membuatnya menangis sepanjang waktu sampai kemudian hampir gila akan memuaskan hatinya yang sakit dan penuh dendam. Akan membuatnya bisa menghilangkan rasa seperti luka menganga ketika menatap kondisi Seulgi yang menyedihkan.

Tetapi ternyata tidak, yang muncul adalah kesakitan yang baru. Rasa seperti dadanya diremas ketika melihat keadaan Jiyeon seperti sekarang ini. Sedih karena kelakukannya.

Seokjin begitu larut dalam usahanya membalas dendam sehingga dia lupa membatasi hatinya sendiri. Pesona dan kebaikan Jiyeon telah menyentuh nuraninya yang paling dalam, membuat jiwanya berperang.

Jiyeon dan Seulgi. Apakah Seokjin harus memilih? Bukankah pada akhirnya siapapun yang akan Seokjin pilih, dia tetap saja telah melakukan sebuah pengkhianatan besar?

*****

Hampir dua bulan berlalu, dan pernikahan itu terasa semakin dingin hingga membuat menggigil, Seokjin hampir tidak pernah pulang ke rumah. Jiyeon bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan suaminya.

Jiyeon amat sangat merindukan rumah kacanya, dia sudah berusaha menunggu supaya suasana hati Seokjin baik dan kemudian dia bisa membahas tentang rumah kaca itu lagi. Tetapi suasana hati Seokjin tampaknya tidak pernah baik. Dalam pertemuan singkat mereka di kala sarapan pagi, kalau Seokjin sedang tidur di rumah, lelaki itu selalu memasag tampang cemberut yang tidak menyenangkan.

Jiyeon beberapa kali tergoda untuk kabur ke rumah kacanya, apalagi Seungho yang selalu meneleponnya setiap malam dan menghiburnya menceritakan bahwa beberapa varietas bunga yang mereka kembangkan telah mekar dengan wanginya dan begitu indah warnanya.

Jiyeon rindu berada di sana, amat sangat merindu sampai ingin menangis setiap dia berusaha menahan dorongannya untuk pergi dari rumah ini. Para pegawai rumah ini mengawasinya, Jiyeon tahu pasti. Mereka tidak akan segan-segan mengangkat telepon dan memberitahu Seokjin kalau dia sekali saja melewati gerbang itu dengan sembrono. Lagi pula gerbang itu dijaga dua pegawai Seokjin yang sudah pasti tidak akan membiarkannya keluar, kalau dia tidak memakai mobil dan sopir yang disediakan oleh Seokjin. Mobil dan supir itu sama saja, Seokjin pasti sudah menginstruksikannya untuk selalu mengawasi Jiyeon. Jiyeon hanya bisa keluar kalau dia berbelanja ke supermarket atau ke tempat-tempat umum, dengan supir itu terus mengikuti dan mengawasinya. Dia sama saja terpenjara di balik pagar rumah yang mewah ini.

Pagi itu, Seokjin sedang sarapan dengan wajah dinginnya seperti biasa. Jiyeon dengan langkah pelan, berusaha memberanikan diri mendekatinya. Mereka sudah jarang sekali berbicara akhir-akhir ini. Setelah pesta itu, Seokjin bisa dikatakan hampir mengabaikan Jiyeon. Kalaupun mereka bercakap-cakap itu hanyalah berupa kalimat-kalimat singkat yang ketus dari Seokjin. “Aku ingin ke rumah kaca.” Jiyeon segera berkata ketika melihat Seokjin sudah menyelesaikan makannya.

Seokjin mengelap mulutnya dengan serbet dan menatap Jiyeon dengan dingin,

“Bukankah aku sudah bilang kau tidak boleh mengunjungi rumah kaca itu lagi?”

“Tapi itu bisnisku, usaha yang aku bangun dari awal, dan rumah kaca itu hampir seperti hidupku…”

“Kau tidak butuh membangun bisnis apapun, aku bisa menghidupimu dengan berlebih, berikan semua kepada Seungho. Mengenai rumah kaca itu, aku tidak peduli.”

Oh ya ampun!” Jiyeon berdiri menatap Seokjin dengan pedih, “Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Kau ingin aku pada akhirnya bunuh diri karena frustrasi ya? Itu yang kau inginkan? Aku tidak tahu kebencian dari mana yang mendorongmu Seokjin, tetapi kau telah melakukan perbuatan keji, menggunakan pernikahan ini untuk menjebak seseorang….. dan sengaja membuatku menderita hanya..”

“Apa yang kau ketahui tentang menderita?” Seokjin berdiri dengan marah, menghampiri Jiyeon, “Apa yang kau tahu hah? Kau selalu hidup dalam limpahan kasih sayang! Semua orang menyayangimu dan menjagamu dalam duniamu yang manis dan indah, kau bahkan tidak perlu mengemis kasih sayang siapapun! Tidak seperti kami!”

Jiyeon menatap Seokjin dengan terkejut, Apa yang dikatakan Seokjin kepadanya tadi? Kenapa Seokjin membandingkan kasih sayang yang diperoleh dari orangtuanya? Dan kenapa dia menyebut ‘kami’ ? siapakah ‘kami’ yang Seokjin maksud itu?

Seokjin sendiri tampak begitu marah dan menakutkan, dia memegang kedua lengan Jiyeon dengan keras,

“Aku ingin kau merasakan apa itu penderitaan, bagaimana rasanya kau terus menerus ditolak dan disakiti oleh orang yang kau cintai! Aku ingin kau merasakannya!” dalam kemarahannya, Seokjin mengguncang-guncang lengan Jiyeon dengan keras, membuat kepalanya pusing. Pusing itu makin menjadi ketika perutnya bergolak dan membuatnya mual luar biasa, Jiyeon tidak bisa menahan muntahnya.

Dia mendorong Seokjin sekuat tenaga, lalu berlari ke arah wastafel yang berada di kamar mandi yang berhubungan dengan ruang makan itu, dengan dorongan sepenuhnya dari mulutnya, dia muntah-muntah hebat, memuntahkan seluruh isi sarapannya.

Ketika dia selesai, dengan terengah-engah dia menyalakan kerannya, dan membasuh mukanya. Didongakkannya kepalanya, dan dari cermin di hadapannya, dia melihat Seokjin berdiri di belakangnya dengan wajah pucat pasi.

Mata mereka bertatapan dan ingatan mereka langsung berpadu ke malam itu, malam dimana Seokjin memperkosa Jiyeon dengan kejam… tanpa pengaman apapun.

Tanggalnya pas, semuanya tepat.. Jiyeon mulai gemetaran, menatap Seokjin dengan meringis perih.

Akhirnya kata-kata itu keluar dari bibir Seokjin, dia menatap Jiyeon dengan sama shocknya, suaranya tampak tercekat ketika dia berkata,

“Kau… hamil?”

 

**tbc**

37 thoughts on “[CHAPTER] GREEN DAYLIGHT PART 7 OF ….

Give me some water!