[CHAPTER] BROWN AFTERNOON PART 7

41

Senja bergayut berganti malam,

Begitupun rasa hatiku kepadamu.

Kau yang selalu ada,

Kau yang terbiasa ada,

Tiba-tiba kusadari,

Aku takut

Jika kau jadi tak ada

Aku takut kehilanganmu,

Wahai kau,

Sosok yang perasaanku kepadamu

Tak bisa terdeskripsikan oleh hatiku…”

7

Minho tertegun. Menyadari kebenaran kata-kata Jiyeon. Benar juga. Dari awal alasan utama mereka menikah adalah demi menjaga perasaan eomma Jiyeon, sekarang sang eomma sudah tiada, tidak ada lagi alasan yang membuat mereka harus menikah. Tapi Minho teringat kepada Jimin yang mempercayakan Jiyeon kepadanya, kepada Nezumi yang akhirnya mempercayai jika Minho dan Jiyeon saling mencintai, dan kepada eommanya yang begitu berbahagia karena Minho akhirnya bisa menyembuhkan luka hatinya dan bertemu dengan jodohnya. Bagaimana perasaan mereka semua jika menyadari bahwa Minho dan Jiyeon telah membohongi mereka?

Jiyeon berdeham pelan, menggugah Minho dari lamunannya,

“Tetapi tentu saja kita tidak bisa gegabah mengakhiri pernikahan ini….” Jiyeon menatap Minho dalam-dalam, “Selain karena pernikahan ini baru sebentar, kita juga harus bisa memberikan alasan yang tepat kepada keluarga kita kenapa kita berpisah… Jadi sementara ini, mungkin kita harus bertoleransi dan melanjutkan sandiwara pernikahan ini, kau tidak keberatan kan Minho?”

Minho tercenung, sebenarnya melanjutkan sandiwara pernikahan ini terasa sangat memberatkan, tetapi membayangkan bercerai diusia pernikahan yang masih sangat muda, belum lagi menjelaskan kepada semuanya terasa begitu berat. Minho juga yakin bahwa berpura-pura melanjutkan pernikahan ini adalah yang terbaik.

“Ya… Mungkin kita bisa menjalani seperti ini dulu sampai kita bisa menemukan alasan dan waktu yang tepat untuk berpisah.”

Jiyeon menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum kecil,

“Lagipula kita sepertinya nyaman menjalani pernikahan ini.” senyumnya berubah seringai kecil, “Aku takut tiba-tiba kita sudah menjalani bertahun-tahun dan tetap belum menemukan alasan untuk berpisah. Hmmm… Bagaimana jika kita jalani pernikahan yang sesungguhnya saja?”

Minho membelalakkan mata dan menatap Jiyeon dengan marah, “Hentikan candaanmu itu.”

“Aku tidak bercanda.” senyum Jiyeon berubah sensual,

“Kupikir aku cukup bisa menerima memiliki suami sepertimu, dalam hal sebenarnya.”

Wajah Minho menjadi merah ketika berhasil mencerna kata-kata Jiyeon, gadis ini benar-benar kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Jika memang Minho memiliki impian tentang seorang istri, pasti dia bukan tipe istri seperti Jiyeon!

♥♥♥

Hari ini sudah hampir tiga minggu setelah kematian eomma Jiyeon. Semula semua terasa berat bagi mereka di rumah ini. Sementara Jiyeon… Jiyeon masih tetap sama, selain kerapuhannya yang ditunjukkan kepada Minho malam itu, Jiyeon luar biasa dingin dan kaku. Masih mengenakan topeng yang sama, topeng datar dan tanpa emosi miliknya.

Undangan pernikahan tergeletak di atas nakas. Minho melihatnya sekilas dan tertegun melihat nama yang ada di sana, Suzy.

Suzy?

Besok hari pernikahan Suzy?

Tiba-tiba dada Minho terasa nyeri, dia memang sudah hampir bisa melupakan Suzy, melupakan rasa sakitnya akibat ditinggalkan Suzy dan melupakan perasaan cintanya yang dulu tumbuh begitu subur kepada Suzy, tetapi entah kenapa, kesadaran bahwa Suzy mengikat dirinya kepada laki-laki lain, dan pengetahuan bahwa Suzy tidak bahagia membuat dadanya terasa sesak.

Jiyeon menatap Minho dan mengernyit, “Kau sudah tidak lagi mencintai pengecut itu kan?” tanyanya menyelidik, “Atau jangan-jangan kau masih cinta?”

Minho menggelengkan kepalanya dengan tegas, “Tidak… Aku sudah tidak…”

“Jika kau masih cinta berarti kau laki-laki bodoh.”

“Aku sudah tidak cinta lagi, tapi kau harusnya mengerti perasaanku, bertahun lamanya aku hidup dengan kesadaran bahwa aku mencintainya, harusnya kau mengerti bagaimana rasanya ketika menyadari perasaan sesak ketika mantan kekasih akan menikah.”

“Tidak, aku tidak mengerti.” jawab Jiyeon sakratis, “Begitu aku dikhianati oleh kekasihku, maka dia sama saja sudah mati. Begitupun perasaanku kepadanya, mati. Jadi aku tidak merasakan apapun.” Gadis itu menutup buku yang dibacanya, dan mengatur posisi tidurnya, “Selamat tidur.”

Minho termenung di sisi ranjang yang berlawanan dan menatap punggung kaku Jiyeon yang membelakanginya. Dia hampir lupa, gadis ini juga memendam kesakitan yang pedih karena pengkhianatan. Dan hal itu membuatnya menjadi keras.

Tetapi Minho sendiri saksinya bahwa Jiyeon masih menyimpan kerapuhan yang disembunyikannya, jauh di dalam hatinya.

♥♥♥

Jiyeon menyadari gerakan di sampingnya meskipun dia masih setengah terlelap, sepertinya masih dini hari karena kamar itu masih temaram dan terasa begitu dingin, tetapi kemudian lengan hangat dan kokoh itu merengkuhnya, memeluknya erat-erat. Lengan itu terasa asing sekaligus akrab, dan membuatnya nyaman, dalam tidurnya dia mendesak dan menempel pada tubuh kekar hangat itu, menikmati eratnya dekapan yang merengkuhnya, membuainya kembali ke alam mimpi.

“Jiyeon.”

Itu suara Minho, tetapi entah kenapa terdengar lebih serak.

Apakah Jiyeon sedang bermimpi?

Dengan meyakini bahwa dia sedang ada di dalam mimpi, Jiyeon bergelung makin merapat ke tubuh kekar hangat itu. Mendesakkan tubuh mungilnya ke tubuh keras itu.

“Jiyeon, jangan.” suara Minho kali ini terdengar tersiksa, tubuhnya terasa kaku di tubuh Jiyeon yang menempel kepadanya.

Suara Minho yang terakhir itu membuat sepercik kesadaran Jiyeon kembali, dia membuka matanya…

Ada apa?

Lalu Jiyeon memekik ketika menyadari posisi tubuhnya, dalam usahanya mencari kehangatan, dia sudah menempel lengket seperti koala yang melingkari pohonnya kepada Minho. Pahanya melingkari tungkai dan pinggul Minho tanpa malu-malu, lengannya memeluk dada dan punggung Minho, sementara kepalanya bersandar tanpa permisi di kepala pemuda itu. Dalam detik yang sama Jiyeon langsung melepaskan pelukannya dan setengah melompat, menjauh menuju seberang ranjang yang paling ujung.

Minho menghela napas panjang, seolah dilepaskan dari ketegangan yang menyiksanya. lalu menatap Jiyeon dengan marah,

“Jika kau tidak mau aku terangsang dan mengajakmu untuk berbuat yang tidak senonoh, jangan menempel-nempel padaku di atas ranjang!” geramnya parau, lalu menarik selimut sampai dada dan membalikkan badan memunggungi Jiyeon yang berbaring dengan muka panas dan merah padam.

Hey, bukankan biasanya dia yang menggoda Minho? Kenapa sekarang keadaan menjadi terbalik? Dan kenapa dia bersikap malu-malu seperti ini?

♥♥♥

Untunglah pagi hari ketika Jiyeon terbangun, Minho sudah tidak ada di ranjangnya, jika tidak ia tidak akan tahu bagaimana dia bisa menghadapi Minho. Wajahnya terasa panas ketika mengingat kejadian semalam. Astaga, bagaimana bisa dia menempel begitu erat kepada Minho? Malam-malam sebelumnya dia tidak pernah melakukannya. Apakah memang karena hawa dingin, ataukah karena dorongan untuk mencari kenyamanan yang sepertinya disediakan oleh tubuh Minho?

Jiyeon mendengus, kenyamanan yang disediakan oleh tubuh Minho? Apakah dia buta? Yang bisa disediakan oleh Minho adalah keterpaksaan, ketidak nyamanan dan masalah. Dia harus ingat itu baik-baik setiap malam sebelum mereka tidur agar kejadian memalukan semalam tidak terulang lagi.

Minho yang sudah selesai mandi melangkah menuju lemari dan melihat setelan baru yang dibelikan oleh Jiyeon… Dia mengernyit lagi, setelan untuk datang ke pernikahan Suzy.

Pernikahan Suzy. Apa kabarnya gadis itu? Gadis yang pernah dicintainya? Sejak kejadian ancaman bunuh diri Suzy di jembatan waktu itu, Suzy tidak pernah menghubunginya lagi, mungkin karena ancaman dari Jiyeon waktu itu, mungkin pula akhirnya Suzy menyadari bahwa antara dirinya dan Minho sudah tidak ada harapan lagi. Semoga pernikahan ini membuat Suzy bahagia, akhirnya Minho bisa mengucapkan doa itu dengan tulus, dan membuat hatinya terasa lega.

Ternyata ketika hatinya bisa melepaskan dan memaafkan, bisa membuat perasaannya terasa ringan. Dielusnya setelan sutera itu dengan kagum, menyadari keindahan setiap serat baju itu, Ini pasti mahal. Minho berkerut, dan ini dibelikan oleh Jiyeon…

“Kenapa kau belum memakai setelanmu? Kita berangkat satu jam lagi.”

Jiyeon tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Minho terkesiap kaget dan hampir menjatuhkan baju itu dari tangannya. Gadis itu berdiri di depan pintu, sudah mengenakan gaun hijau keemasan senada dengan setelan Minho.

“Satu jam lagi?” Minho melirik jam emas antik di atas meja di samping ranjang.

“Ya, satu jam lagi kita berangkat, bersiaplah.” Suaranya merendah lalu melangkah pergi meninggalkan Minho.

♥♥♥

Ketika Minho menuruni tangga, Nezumi ternyata baru saja datang di rumah itu, bersama Jimin. Nezumi memang selalu datang menemani Jimin sejak kematian eomma Jiyeon, untuk menghiburnya. Mata Jimin langsung berkilat jenaka ketika melihat Minho, “Wow, Minho hyung, hyung tampan sekali!” dia berdiri dan menatap Minho dengan bersemangat,

Jimin mengernyitkan alisnya ke arah ruang kerja Jiyeon, “Dimana Jiyeon noona, tadi katanya mau buru-buru berangkat agar bisa cepat pulang lagi, sekarang malah menenggelamkan diri di ruang kerjanya.” Jimin mengedipkan matanya kepada Minho, “Tunggu sebentar hyung, akan aku seret Jiyeon noona dari sana.” lalu melangkah memasuki ruang kerja Jiyeon.

Nezumi ikut-ikutan berdiri dan tersenyum mengagumi kepada Minho,

“Kau tampan sekali oppa.”

Minho meringis kecil, “Jangan kau juga ikut-ikutan memujiku, aku jadi malu.”

Nezumi terkekeh, “Tapi kau memang betul-betul tampan, dan pakaian itu sangat cocok untukmu, kata Jimin, Jiyeon eonni khusus memesankannya untukmu.” Nezumi tersenyum lembut,

“Mulanya aku cukup cemas dengan pernikahan kalian. Tetapi makin hari aku makin yakin, kau bahagia. itu yang terpenting.” Minho memalingkan kepala, tidak mampu menatap Nezumi, takut kebohongannya akan tercermin di matanya.

Adiknya ini begitu mempercayainya, dan dia membohonginya. Semoga ketika semuanya terkuak nanti, Nezumi bisa memahami dan tak marah kepadanya.

Pada saat itu pintu ruang kerja Jiyeon terbuka, dan gadis itu keluar diikuti Jimin. Sejenak Jiyeon tertegun mengamati Minho, lalu tersenyum.

“Pakaian itu cocok untukmu.” gumamnya tenang. Diiringi dengan Jimin dan Nezumi yang saling melemparkan pandangan penuh arti.

♥♥♥

Seperti yang diduga, ini adalah pesta pernikahan yang mewah. Jantung Minho terasa berdegup kencang ketika melangkah memasuki gedung ini. Dekorasinya sangat indah dan kemudian perasaan itu menyergapnya lagi, perasaan yang menyadarkannya bahwa dia sedang menghadiri pesta pernikahan Suzy.

Suzy.

Gadis itu berdiri di sana, dengan Minhyuk di sebelahnya. Keduanya tampak megah dalam balutan busana bernuansa emas. Lalu keluarga Suzy, eommanya, sepupu-sepupunya, dan semuanya yang dulu sempat mengenal Minho melihatnya, kemudian berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh spekulasi. Jantung Minho berdenyut lagi, lebih kencang. Mampukah dia naik ke sana dan menyalami Suzy dengan tegar, dibawah tatapan mata tajam seluruh keluarga Suzy ?

Jiyeon seolah-olah menyadari perasaan Minho yang campur aduk, dia mengencangkan genggamannya di lengan Minho, dan berbisik lembut.

“Kau datang kesini bersamaku, aku istrimu. Dan aku adalah perempuan yang seratus kali lebih baik dari mantan pacarmu yang sedang bersanding di pelaminan itu. Jadi tegakkan dagumu, tunjukkan kebanggaanmu. Kau tidak rugi ditinggalkan olehnya, dia yang rugi karena kehilanganmu. Tunjukkan betapa berharganya dirimu kepada Suzy dan keluarganya.Tunjukkan betapa berharganya dirimu, karena kau adalah suamiku.”

Bisikan Jiyeon itu, meskipun begitu penuh kesombongan dan arogansi, mampu menghilangkan kegugupannya. Jiyeon benar, dia tidak seharusnya takut ataupun gugup atas pandangan menilai eomma dan keluarga Suzy. Dia datang ke sini bersama Jiyeon, istrinya. Dan Jiyeon mendukung sepenuhnya Minho untuk memamerkan kebanggaan dirinya, karena ternyata mampu berujung lebih baik dari Suzy. Jiyeon tersenyum melihat perubahan ekspresi Minho,

“Bagus, ayo suamiku, kita salami mantan kekasihmu yang tidak beruntung itu.” gadis itu itu menarik Minho dengan lembut menaiki panggung tempat Suzy dan Minhyuk berdiri. Jiyeon yang melangkah duluan dan menyalami Suzy dengan senyum mengejeknya yang menjengkelkan,

“Selamat.” gumamnya dengan suara tegas, lalu menghela Minho mendekat, “Kemari sayang, kita harus memberi selamat kepada pasangan ini.” suaranya berubah mesra. Minho mendekat dan menyalami Suzy. Dia merasakan genggaman yang berbeda dan Suzy menatapnya dengan tatapan tersiksa. Tapi Minho menguatkan diri. Ini jalan yang dipilih Suzy dan Minho sudah memilih jalan yang berbeda jauh.

“Selamat Suzy. Selamat Minhyuk.” suaranya terdengar tegas, dan kuat, dan tulus. Menyalami Suzy yang terlihat sedih dan Minhyuk yang tersenyum kaku. Kemudian mereka berhadapan dengan eomma Suzy. Dan seketika ingatan itu berkelebat di benak Minho, ingatan ketika Suzy memperkenalkannya ke eommanya. Minho yang lugu waktu itu mengulurkan tangannya. Dan eomma Suzy hanya menatap jemarinya dengan angkuh, lalu memalingkan mukanya dengan mencemooh, tak mau membalas salamannya dan membuat Minho harus menarik tangannya mundur pelan-pelan dengan penuh rasa malu.

Kali ini, eomma Suzy menatap Jiyeon dan Minho dengan gugup. “Minho tidak kusangka bertemu lagi denganmu di sini.” suara eomma Suzy bernada ramah yang dibuat-buat. Lalu tanpa di sangka perempuan itu mengulurkan tangan kepadanya, “Dan sekarang kau adalah suami nona Park, kami sekeluarga belum mengucapkan selamat, selamat ya.”

Godaan untuk menolak uluran tangan itu dan membalaskan kesakitannya di masa lalu sangatlah besar, tetapi Minho sadar, dia akan tampak kekanak-kanakan jika melakukannya, lagipula situasi ini sudah merupakan pembalasan tidak langsung untuk Suzy dan eommanya. Disambutnya uluran tangan itu lembut.

“Terima kasih,” gumamnya pelan dalam senyum. Jiyeon menatap kepadanya, memahaminya dalam senyum pengertian. Lalu setelah basa-basi sejenak yang kaku, Jiyeon berpamitan dan mengajak Minho keluar dari gedung dan acara penikahan yang menyesakkan napas itu. Mereka berjalan bergandengan, melangkah menuju mobil Jiyeon, gadis itu masih menggandeng tangannya erat.

“Senang?” tanyanya dalam senyum memahami.

Minho terdiam sejenak, berusaha menelaah perasaannya, kemudian menemukan rasa ringan yang membuatnya tenang. Ternyata yang diperlukannya hanyalah menghadapi masa lalunya dengan berani, lalu melepaskan semua beban itu. Perasaan sedih yang menggelayutinya selama ini itu sudah tiada, dan rasanya menyenangkan. Dia mendongak, menatap Jiyeon dan tersenyum,

“Senang.” senyumnya bertambah lebar, “Terima kasih Jiyeon.”

Gadis itu terkekeh dan menganggukkan kepalanya, “Sama-sama Minho, sama-sama.”

♥♥♥

Ketika mereka sudah dijalan, Jiyeon melirik ke arah Minho, “Mau mampir ke cafe? Aku hanya makan sedikit tadi, dan aku masih lapar,” gumamnya pelan.

Minho mau. Datang ke pernikahan Suzy sangat menguras emosinya, membuat makanan yang ditelannya di acara itu terasa seperti kertas. Dia butuh cokelat hangat yang manis dan kental itu.

“Aku mau.” gumamnya.

Jiyeon tersenyum dan kemudian mobilnya mengarah menuju ke cafe. Mereka tiba di cafe itu menjelang sore, karena terjebak macet yang cukup lama. Suasana cafe sangat ramai, mungkin karena di hari minggu, Jiyeon dan Minho berjalan menuju sebuah kursi yang terletak di sudut yang sejuk, di bawah rimbunnya dedaunan yang berwarna hijau. Seulgi yang menyambut mereka seperti biasa, mempersilahkan mereka duduk dan mengedip kepada Minho bersahabat.

“Cokelat panas seperti biasa Tuan?” gumam Seulgi ramah.

Jiyeon memicingkan matanya dan menatap ke arah Seulgi,

“Seperti biasanya?” matanya beralih ke arah Minho, “Apakah kau sering ke sini tanpaku?”

Minho tersenyum kikuk, merasa tertangkap basah, “Aku sering kemari sepulang kerja, untuk secangkir cokelat panas.” gumamnya mengaku.

Jiyeon terkekeh, “Rupanya kau ketagihan dengan cokelat panas dari cafe ini.” Jiyeon menatap Seulgi pura-pura menuduh,

“Apa yang kau campurkan ke dalam minuman suamiku sehingga dia ketagihan seperti ini?”

Seulgi tertawa dan menggelengkan kepalanya, “Saya tidak mencampurkan apa-apa. Tetapi bukankah cokelat mengandung bahan yang bisa membuat kecanduan meskipun kadarnya sangat sedikit? Tetapi saya rasa ketenangan yang didapatkan dari meminum cokelat itulah yang membuat ketagihan.” Seulgi tersenyum bijak, mencatat pesanan mereka lalu membungkuk sopan sebelum undur diri.

“Kau tampak akrab dengan Seulgi.” Jiyeon bergumam sambil menatap kepergian wanita setengah baya itu.

Minho tersenyum, “Seulgi sangat ramah, dia juga sering memberikan nasehat.”

Jiyeon menganggukkan kepalanya, “Dia memang sangat terkenal di cafe ini, bisa dibilang dialah yang menjadi pengelola utama cafe ini, pemilik Cafe mengenalnya sejak lama dan mempercayainya. Tetapi dia tidak mau mengambil jabatan tinggi, dengan rendah hati dia bilang ingin menikmati pekerjaan sebagai pelayan karena dia sangat menikmati berbicara dan berbagi cerita dengan pelanggan-pelanggannya.” Jiyeon merenung, “Wanita itu bekerja bukan untuk uang, tetapi untuk kepuasan batin.”

“Mungkin dia hanyalah wanita yang kesepian.” Minho menggumam sambil menatap Seulgi yang menyapa pelanggan lain dengan ramah.

“Yah dia memang hidup sendirian di sini setelah kehilangan anak dan suaminya.” Jiyeon menatap Minho dan mengalihkan pembicaraan, “Bagaimana perasaanmu kepada Suzy setelah tadi?”

Minho memikirkannya sejenak, lalu merasa yakin dan tersenyum, “Aku merasa lega, lepas dan bebas. Terima kasih karena telah membantuku menghadapi mereka semua.” gumamnya, mengulang ucapan terima kasihnya.

Jiyeon hanya mengangguk, “Aku istrimu.” Gumamnya serius, “Sudah kewajibanku untuk mendukungmu.”

Pesanan makanan mereka pun datang, pelayan lain yang mengantarkannya. Menu steak yang masih berasap dan minuman. Jiyeon memesan minuman warna kuning dengan aroma limau dan gelembung-gelembung di dalamnya, gadis itu mengernyit melihat minuman Minho.

“Aku tidak pernah melihat orang memadukan steak dengan cokelat panas sebelumnya.”

Minho terkekeh, “Sebetulnya aku ingin menikmati cokelat panasnya duluan.” disesapnya cokelat panas itu, tidak bisa menahan dirinya. Jiyeon mengamatinya. “Jangan-jangan kau benar-benar sudah kecanduan cokelat di sini.” gumamnya, membuat Minho tertawa geli.

“Mungkin aku memang kecanduan. Cokelat ini menstimulasi ketenangan di otakku dengan rasa manis, aroma khasnya dan kenikmatannya ketika mengaliri lidahku. Aku terus menerus ingin menikmati sensasi itu.”

Jiyeon mendecakkan lidahnya, “Gawat jika begitu.” matanya menggoda, “Mungkin kita harus menculik peracik minuman ini dan menyekapnya di rumah.”

Minho tertawa mendengar godaan Jiyeon itu. Mereka menghabiskan makanan mereka dengan cepat. Rupanya Jiyeon dan Minho sama-sama tidak bisa menikmati makanan di resepsi pernikahan Suzy. Ketika mereka pulang mereka berpapasan dengan Seulgi, wanita itu membawa baki berisi teh warna hijau yang masih panas.

“Maaf tadi tidak bisa menyapa kalian lagi. Aku harus membawakan pesanan kepada pelanggan di sana, dia biasanya datang tengah hari, tetapi hari ini dia datang terlambat, tampak sangat sedih dan memesan minumannya yang biasa. Semoga minuman ini bisa membuat hatinya ringan.” Seulgi menundukkan tubuhnya sedikit untuk mengucap selamat tinggal, “Hati-hati di jalan dan kembalilah lain waktu,” gumamnya dengan riang.

Minho tersenyum dalam gandengan Jiyeon, “Pasti Seulgi… Pasti…”

♥♥♥

“Selamat ulang tahun.”

Minho mengerjapkan matanya, dan menemukan Jiyeon masih terbaring di ranjang, bertumpu pada sikunya dan miring menghadap Minho.

Gadis itu tampak luar biasa menawan bahkan ketika bangun tidur. Seakan-akan rambut kusut dan penampilan acak-acakannya malah menambah pesonanya bukannya mengurangi. Jauh berbeda dengan Minho, dia sama sekali tidak yakin penampilan bangun tidurnya bisa mempesona. Tetapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh kepada Jiyeon rupanya, gadis itu tetap tersenyum dan menatapnya dengan pandangan berbinar-binar,

“Selamat ulang tahun.” Gadis itu mengulang, seakan tidak yakin ucapannya yang pertama tadi bisa dicerna oleh Minho. Minho mengerjapkan matanya sekali lagi, menghitung tanggal dalam benaknya, dan menyadari bahwa sekarang memang hari ulang tahunnya.

“Terima kasih.” Gumamnya tersenyum.

Jiyeon terkekeh lalu bangkit dari ranjang, “Jimin memberitahuku kemarin, dia merencanakan sebuah pesta kecil-kecilan untukmu, hanya kita dan keluarga, liburan di tepi pantai.”

Hari ini memang hari sabtu, tetapi biasanya di hari sabtupun Jiyeon pergi bekerja.

“Apakah kau libur?” tanya Minho ragu.

Jiyeon mengangkat bahu, “Pekerjaan bisa menunggu, lagipula Jimin akan membunuhku jika aku tidak bisa ikut. Kau tahu dia kemarin bersemangat melanjutkan yang dilakukan eomma, yaitu mempersiapan acara resepsi pernikahan kita, dan setelah bujukan yang luar biasa, akhirnya dia mau mengerti bahwa kita memilih tidak mengadakan resepsi apapun untuk menghormati eomma yang telah tiada, setidaknya menyiapkan acara liburan ulang tahunmu ini bisa menghiburnya.”

Minho tersenyum dan mengangguk, Jimin benar-benar tegar. Dia menghadapi kesedihannya dengan menjadi kuat dan bersemangat. Dan Minho sangat bersyukur jika memang Nezumi berjodoh dengan Jimin, dia akan menjadi suami yang hebat untuk Nezumi. Lalu pikiran itu tiba-tiba muncul di benak Minho,

“Jiyeon…” suara Minho yang serius menarik perhatian Jiyeon,

“Tentang pernikahan kita ini… Bagaimana ke depannya? Apakah kau sudah memikirkannya?”

Jiyeon tercenung lalu mengangkat bahu, “Terus terang aku tidak memikirkannya. Aku hanya menjalaninya, kau juga seperti itu kan? Lagipula aku sedang tidak jatuh cinta dengan siapapun, dan kau juga tidak jatuh cinta kepada siapapun. Jadi

kupikir kita bisa menjalankan pernikahan ini dengan biasa dulu.”

“Jika nanti kita jatuh cinta kepada orang lain?” Minho tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

Jiyeon menghela napas, “Maka kita tidak boleh saling menghalangi,” gumamnya parau.

♥♥♥

Mereka berjalan meninggalkan makam eomma Jiyeon dalam keheningan. Sebelum berangkat liburan ke pantai untuk merayakan ulang tahun Minho, mereka berkunjung ke makam untuk berdoa dan meletakkan bunga.

“Jiyeon!” suara itu memanggil dengan lembut dari sebuah sudut, dan membuat mereka semua menoleh. Jimin yang pertama kali menghela napas, dia berdiri di sebelah Minho dan menepuk dahinya.

“Gawat,” desahnya pelan.

Minho menoleh dan menatap Jimin, “Ada apa?”

“Itu Myungsoo, mantan kekasih Jiyeon noona seorang model profesional… Yah tidak bisa dibilang kekasih, dia selalu putus sambung dengan Jiyeon noona… Dan dia… Sangat terobsesi dengan Jiyeon noona, pada saat pernikahan kalian dia sedang ada di luar negeri jadi tidak tahu, mungkin dia baru pulang dan mendengar Jiyeon noona menikah, jadi dia menyusul ke sini.” Jimin berbisik pelan kepada Minho, “Hati-hati Minho hyung, dia tajam seperti racun.”

Minho tiba-tiba merinding ngeri. Selama menjadi suami Jiyeon, dia tahu banyak laki-laki yang iri dan membencinya. Tatapan-tatapan permusuhan kadang diterimanya ketika Jiyeon bersikap mesra kepadanya di depan umum. Tetapi belum pernah dia menghadapi kecemburuan secara frontal. Apalagi kecemburuan dari seorang mantan kekasih.

“Dan dia tidak tahu malu,” Jimin berbisik lagi, “Aku tidak pernah menyukainya karena itu, dia menghabiskan sepanjang waktunya dengan mengejar-ngejar Jiyeon noona, sampai lupa pada norma dan aturan yang berlaku…”

Myungsoo berdiri di depan Jiyeon dan Minho, laki-laki itu tinggi dan tampan, sesuai dengan profesinya sebagai seorang model. Rambutnya terlihat halus dan cokelat, dibiarkan berantakan namun tetap tampan.

Pakaiannya begitu modis dan membungkus tubuhnya. Minho tiba-tiba memandang dirinya dengan gelisah ketika membandingkan dirinya dengan laki-laki modis di depannya itu. Astaga, jika begini selera Jiyeon sebelumnya, pantas saja dia sama sekali tidak kesulitan menahan diri ketika tidur seranjang dengan Minho. Mantan kekasihnya ini begitu sensual, dan Minho hanya seperti anak kecil jika dibandingkan dengannya.

“Hai sayang, aku mendengar kabar mengejutkan kemarin ketika mendarat pulang, kau menikah.”

Jiyeon tampak tersenyum datar, “Kabar itu betul, kenalkan ini suamiku, Minho.”

Myungsoo mengulurkan tangannya dan Minho membalasnya. Senyum Myungsoo tampak sinis dan laki-laki itu memandangnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan mengejek.

“Aku Myungsoo,” gumamnya tak kalah mengejek, lalu seolah tak mempedulikan Minho, laki-laki itu menoleh kembali pada Jiyeon dengan merayu, “Aku merindukanmu sayang, kapan kita bisa bertemu lagi dan melepaskan rindu? Mungkin nanti malam kita bisa memesan makan malam privat di tempat biasa?”

Minho ternganga, kaget sekaligus marah. Laki-laki ini benar-benar tidak peduli bahwa Jiyeon sudah menikah dengan Minho! Bahkan dia terang-terangan meremehkan keberadaan Minho sebagai suami Jiyeon dengan sengaja mengeluarkan rayuan sensual kepada Jiyeon, padahal Minho sedang berdiri di sebelahnya.

“Maaf.” Minho bergumam sebelum Jiyeon sempat berkata-kata, “istriku tidak punya waktu untukmu malam ini atau kapanpun, kami akan menghabiskan malam di pantai untuk merayakan ulang tahunku,” gumam Minho geram, lebih karena dipenuhi rasa terhina dan bukan cemburu. Myungsoo menatap Minho jengkel karena berani menjawab pertanyaannya yang ditujukan untuk Jiyeon, tetapi dia lalu melemparkan pandangan sensual kepada Jiyeon menunjukkan jika dia meremehkan jawaban dari Minho.

“Jika begitu lain kali sayang. Aku yakin kau nanti ada waktu untukku, seperti biasanya,” bisiknya penuh arti Jiyeon yang dari tadi tampak geli dengan situasi ini

mengangkat bahunya acuh tak acuh, “Kau dengar sendiri suamiku tadi Myungsoo. Suamiku memastikan bahwa aku tidak punya waktu untuk kegiatan bersama orang lain.” Gadis itu melirik menggoda kepada Minho, membuat wajah Minho memerah. Myungsoo mengamati Jiyeon dan Minho bergantian, menilai situasi. Lalu tersenyum sinis.

“Oke, aku tidak akan menyerah, lain kali aku akan mencoba lagi. Dan aku akan menunjukkan bahwa laki-laki dewasa yang berpengalaman sudah pasti jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pria kecil yang bahkan tidak bisa mendandani dirinya sendiri dengan baik.” Myungsoo melemparkan tatapan mencemooh kepada Minho, membuat wajah Minho merah padam karena merasa terhina. Lalu dengan santai pria itu itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.

*******************

Kalo emang ngetik buat ngasih komen itu nyusahin dan malesin, cukup seneng kalo kalian mau klik like doang juga, ngasi bintang buat saya. Yang mumpung masih baik sebelom saya blok ini wordpress, hahahaha

18 thoughts on “[CHAPTER] BROWN AFTERNOON PART 7

Give me some water!